PERANAN LASKAR PERJUANGAN
MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN
(Suatu Perspektif Historis)
Gambar
Laskar HIzbullah sedang defile
Akhir dari perang dunia II ditandai dengan kekalahan Jepang
dari Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, setelah dihancurkannya kota Hiroshima
dan Nagasaki menggunakan bom atom oleh Amerika. Momentum kalahnya Jepang dimanfaatkan
oleh para pejuang Indonesia untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan. Pada tanggal
17 Agustus 1945, di depan kediamannya Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia
kemudian membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan. Peristiwa tersebut adalah
puncak dari perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu
penjajahan, setelah berabad-abad bangsa ini mengalami penindasan dan penjajahan
dari bangsa Asing. Namun perjuangan belum usai, pasca
kemerdekaan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan jauh lebih sulit dan
penuh tantangan serta hambatan, berbagai ancaman datang silih berganti.
Dua hari pasca Kemerdekaan RI tanggal 19 Agustus 1945, PETA
dan Heiho secara resmi dibubarkan dan dilucuti oleh Jepang, maka negara yang masih seumur jagung ini belum memiliki Angkatan
Bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaannya dari berbagai bentuk ancaman,
baik dari luar maupun dari dalam. Untuk mengisi kekosongan tersebut, berbagai
komponen masyarakat atas inisiatif sendiri membentuk organisasi-organisasi
perjuangan yang popular disebut dengan “laskar”.[1] Bedanya dengan tentara, laskar ternyata tidak punya senjata, tidak
terlatih, tidak berdisiplin, dan tidak memiliki pimpinan yang berpengalaman.
Pada tanggal 22 Agustus 1945 Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya berhasil memutuskan dibentuknya Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Badan Kemanan Rakyat (BKR) yang merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP).[2] Pembentukan BKR pada
awalnya lebih difokuskan pada fungsi kegiatan sosial dalam menangani permasalahan pasca perang. Namun fakta dilapangan
mencatat BKR juga ikut melaksanakan perebutan senjata dan konfrontasi dengan
pasukan Jepang. Pemerintahan Soekarno dalam perjuangan mempertahankan proklamasi lebih mengedepankan
diplomasi sehingga belum perlu dibentuk tentara, meski ada desakan dari golongan pemuda mantan PETA
dan KNIL. Soekarno dengan bijak mempertimbangkan bila organisasi
tentara segera dibentuk, maka bangsa Indonesia akan berhadapan dengan pasukan Jepang yang senjatanya masih lengkap.
Kebijakan pemerintah untuk tidak membentuk tentara tidak dapat diterima oleh laskar-laskar perjuangan, mereka lebih memilih bersikap tegas terhadap Jepang dan menolak kedatangan Sekutu. Para pemuda yang tergabung dalam laskar-laskar perjuangan diberbagai kota bergerak sendiri-sendiri atau bersama BKR melaksanakan perebutan senjata dan mengambil alih instalasi-instalasi penting yang dikuasai pasukan Jepang, sehingga sering diantara laskar yang satu dengan yang lain terlibat konflik karena berbeda ideologi yang membuat masyarakat ketakutan.[3]
Laskar Dalam Perjuangan Fisik
Seiring dengan adanya tekanan dari golongan pemuda
dan mantan serdadu/laskar serta adanya gangguan kemanan, maka pemerintah mengubah
BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 5 Oktober 1945.[4] TKR menyadari bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan harus
menyatukan seluruh daya dan elemen bangsa, sehingga TKR menyerukan perlunya dukungan
dari laskar-laskar rakyat yang siap bertempur bersama dalam menghadapi musuh negara
untuk mempertahankan kemerdekaan, serta perjuangan tidak bisa dilaksanakan
sendiri, perlu peran serta rakyat secara menyeluruh dalam satu kesatuan.[5] Adanya konflik perbedaan ideologi antar laskar dan kurang
disiplinnya anggota laskar dapat berakibat pada ketidak berhasilan perjuangan,
sehingga melalui seruan tersebut TKR berusaha menyatukan laskar-laskar
perjuangan dalam satu Koordinasi.
Mendaratnya pasukan Sekutu yang bernama Alied
Force Netherland East Indie (AFNEI) di beberapa Pelabuhan di Indonesia
dengan tujuan untuk melucuti pasukan Jepang dan membebaskan tawanan perang, memancing
amarah para pemuda, laskar dan TKR, karena diboncengi oleh pasukan Belanda. Aksi
penolakan dan perlawanan bahkan berujung pada pertempuran atau palagan yang
sangat dasyat di beberapa tempat. Dalam pertempuran tersebut melibatkan kekuatan
TKR dan pemuda-pemuda Indonesia yang tergabung dalam laskar-laskar rakyat,
mereka berjuang bahu-membahu mempertahankan kemerdekaan RI.
Di Palagan Ambarawa misalnya, bagaimana besarnya
peran laskar-laskar perjuangan (Badan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI),
Pesindo, Hizbullah, Sabilillah, API, Barisan Banteng, KRIS, Polisi Istimewa dan
lain-lain) dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Laskar-laskar
rakyat bersatu bersama pasukan TKR menggempur pasukan Sekutu di Ambarawa dalam
satu kesatuan komando di bawah kendali Panglima Sudirman, yang kemudian
melahirkan taktik “supit urang”.[6] Sementara di Palagan Surabaya, tokoh laskar perjuangan BPRI
Bung Tomo melalui pidatonya berhasil membakar semangat nasionalisme arek-arek
Surabaya dan memobilisasi massa dari laskar Sabilillah dan Hizbullah bersama
dengan TKR mengadakan perlawanan pasukan Sekutu.[7] Dengan semangat pantang menyerah arek-arek Surabaya berjuang
mempertahankan Kemerdekaan hingga titik darah penghabisan. Perjuangan tersebut
membuahkan hasil yang gemilang dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby dan berhasil
mematahkan serangan pasukan Sekutu yang berpengalaman memenangkan Perang Dunia
II dalam Palagan Surabaya.
Memang mayoritas personel laskar-laskar yang
terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan adalah laki-laki, namun bukan
berarti tidak ada peran laskar-laskar wanita dalam perjuangan tersebut. Di kota
Bandung misalnya, Laskar Wanita Indonesia (Laswi) yang mayoritas anggotanya para
pemudi usia 18 tahun ke atas, turut ambil peran dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan dengan membantu menyediakan logistik dan sebagai Palang Merah
Indonesia. Laswi hadir sebagai penyokong kebutuhan pangan para pejuang di kota
Bandung yang mengungsi akibat serangan tentara Sekutu.[8] Kemudian di Kota Solo pada masa revolusi juga ada Laskar Putri
Indonesia (LPI) yang turut berjuang dalam pertempuran di Semarang dengan tugas membantu
mendirikan dapur umum dan mendistribusikan logistik sampai ke garis depan, kadang
mereka juga bertugas menyusupkan senjata dan munisi.[9]
Gambar Laskar Wanita Indonesia (LASWI) Sedang Berbaris (Doc. Album Perjuangan TNI AD Periode 1945-1950)
Keterlibatan laskar-laskar rakyat dalam perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan di berbagai daerah di Indonesia adalah wujud dari semangat juang, nasionalisme, kebersamaan, rela berkorban, rasa persatuan dan kesatuan serta senasib sepenanggungan antara Rakyat dengan Tentara.
Gambar Laskar Putri Indonesia (LPI) Solo sedang latihan kemiliteran (Doc. Album Perjuangan TNI AD Periode 1945-1950)
Eksistensi Laskar merupakan instrumen yang
tidak terpisahkan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Kemunculan Laskar-laskar
perjuangan pasca kemerdekaan adalah sebagai euforia pemuda Indonesia masa
revolusi. Walau perbedaan ideologi dan konflik kepentingan sempat muncul
diantara laskar-laskar perjuangan, namun dengan semangat nasionalisme yang
tinggi permasalahan tersebut dapat diatasi. Dengan kesadaran dan inisiatif
sendiri laskar-laskar perjuangan bergabung bersama dengan TKR dalam satu
komando, sehingga kemerdekaan bangsa Indonesia dapat dijaga dan dipertahankan
dari ancaman musuh negara. Keberadaan Laskar dalam mempertahankan kemerdekaan
tidak hanya di wilayah Jawa, melainkan dihampir seluruh wilayah Indonesia.
[1] Ulf
Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI,
LP3ES, Jakarta: 1982, hlm. 10
[2] Dinas
Sejarah Militer TNI Angkatan Darat, Cuplikan Sejarah TNI Angkatan Darat,
Mahjuma, Bandung-Jakarta:
1972,
hlm 39.
[3] Ulf
Sundhaussen, op.cit., hlm. 10, dan 11.
[4] Dinas
Sejarah Militer TNI Angkatan Darat, op.cit.,
hlm 43.
[5] MBU TKR mengeluarkan Maklumat pada tanggal 30 Oktober 1945, yang salah
satu butirnya berisi tentang Laskar Rakyat harus ikut bertempur, manakala terjadi
pertempuran dengan musuh. Disjarahad, Sudirman, Parajurit TNI Teladan,
Dinas Sejarah Angkatan Darat, Bandung: 2012, hlm. 129.
[6] Dinas Sejarah TNI AD, 8 Palagan Yang Menentukan, Dinas Sejarah TNI AD, Bandung:1985, hlm 86-106.
[7] Ahmad Mansur Suryanegara, API Sejarah 2, Salamadani,
Bandung: 2010, hlm. 208.
[8] Laswi
berdiri
pada tanggal 12 Oktober 1945 atas inisiatif dari istri Arudji Kartawinata TKR dari Divisi III Jawa Barat, Sumarsih
Subiyanti alias Yati Arudji, anggotanya terdiri
dari beragam latar belakang, yang kebanyakan berasal dari
pemudi berusia 18 tahun keatas yang sempat mengenyam pendidikan formal. Organisasi ini terdiri dari pasukan tempur, palang merah, dan bagian penyelidikan dan perbekalan https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200817085552-269-536435/laswi-aksi-perempuan-sunda-yang-bikin-ngeri-penjajah-belanda, diakses pada tanggal 5 November 2020.
[9] https://tirto.id/laskar-putri-indonesia-prajurit-perempuan-dari-solo-ehan, diakses pada tanggal 5 November 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar